IRAMA ini juga mengajak seratusan umat yang hadir -pastor, suster, bruder, bapak, ibu, anak-anak, dan hadirin lainnya mengarahkan hati menuju panti imam tempat rangkaian ibadat dipusatkan.
Minggu, 15/11, Kapel San Calisto, Piazza San Calisto, Roma, Italia, tempat diadakannya Perayaan Ekaristi ini semerbak dengan nuansa Indonesia. Misa dipimpn Pastor Sylvester Pajak SVD. Dalam khotbahnya, ia menggarisbawahi sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pilar utama Indonesia. Indonesia kay a tidak pertamatama karena aspek ekonomi tetapi karena Ketuhanan Yang Maha Esa. Pilar pertama ini memampukan kita meneapai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Berperan besar
Staf kegerejaan KBRI untuk Takhta Suei ini menandaskan, pilar-pilar Paneasila menuntun kita berorientasi pada perjalanan hidup. "Kita tahu dari mana dan ke mana kita berjalan. Kita mampu menjadi manusia yang adil dan beradao dalam Tuhan. Dalam Dia, kita bertahan. Sebab, Sabda-Nya tinggal bersama kita," tutumya.
Usai Misa, aeara dilanjutkan diskusi. Jumlah peserta yang berpartisipasi makin banyak, sekitar 200 orang. Suprapto Martosetomo, Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan, menyampaikan sambutan pembukaan diskusi dalam rangka "Indonesian Day" di Aula Komunitas Sant'Egidio, Via della Paglia 4, Roma.
Ia mengatakan, peran rohaniwan-rohaniwati bagi bangsa Indonesia sudah diawali sejak zaman perjuangan. Pada zaman pendudukan Jepang, Mgr . Alb. Soegijapranata dan Mgr Wilkens berjuang mempertahankan hak-hak rakyat. Mereka mempertahankan RS St Carolus, Jakarta.
Peran rohaniwanrohaniwati juga tampak dalam mengelola sekolah-sekolah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkualitas. Ia mengungkapkan rasa bangganya dengan pengabdiah mereka. Selanjutnya, ia berbicara mengenai rohaniwan-rohaniwati yang sedang berkarya maupun yang sedang menimba ilmu di Roma. "Mereka adalah duta-duta bangsa setiapkali memberi kesaksian yang baik.
Aeara ini merupakan bentuk peran rohaniwan-rohaniwati sebagai duta-duta Indonesia," tutumya. Acara yang terselenggara atas kerjasama IRRIKA, Kedutaan Besar Indonesia untuk Vatikan, dan Komunitas Sant'Egidio ini menampilkan pembicara Pastor Paulinus Yan Olla MSF, Pastor Vitus Rubianto SX, dan Wakil Komunitas San't Egidio Valeria Martano.
Stigma asing.
Di awal diskusi itu, Pastor Ya Olla mengatakan, di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim masih terdapat satu stigma. Hingga hari ini terus berlat jut pandangan bahwa agama Kristen merupakan agama asina yang dibawa penjajah. "Agama Kristen akan terus terkena stigma sebagai agama asing jika dl dalamnya tidak dibangun ident.! tas keindonesiaan," tandasny .
Patut disyukuri, para tokoh Katolik Indonesia memberi teladan ikut ambil bagian dalam keindonesiaan di masa perjuangan. Misalnya, Mgr Soegijapranata dengan semboyannya "100% Katolik, 100% Indonesia", Siamet Riyadi dan Yos Sudarso yang rela mati membela Indonesia merdeka. Juga 1.J. Kasimo dan Drijarkara yang membela Paneasila sebagl dasar Negara Indonesia. Tantangan hidup sebagai m' ritas tidak menghalangi para p lawan kita untuk menjadikanny peluang dalam merasul. Semen tara Pastor Rubianto SX mengatakan, tanpa interpr • tasi kontekstual, refleksi iman cenderung mengadopsi sebuah cara asing. Jenis refleksi iman ini mungkin sekali menjadi agresif dan kolonial terhadap praksis iman dari budaya lain.
Konsekuensinya, amat penting lah memilih sebuah metode kontekstual yang kiranya sel dengan refleksi iman akan Kristus. Kemudian, Valeria Martano menegaskan keterlibatan umat Katolik Indonesia saat ini dengan terlibat dalam membangun masyarakat sipiL Menurutnya, Indonesia dapat bertahan melewati krisis sejak 1998. "Salah satu alasannya, karena kuatnya masyarakat Sipi di Indonesia, dengan adanya kerjasama organisasi agama, seperti NU, Muhammadiyah. dan Gereja Katolik. Cinta kasih membuat masyarakat lebih manusiawi dan lebih sipil. Masyarakat Indonesia menghargai Bhinneka Tunggal Ika," ujamya.
|